Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa.
JAKARTA —- Reformasi gelombang kedua yang menekankan politik
kesejahteraan tak hanya akan mengurangi kesenjangan, bahkan kian
memungkinkan Indonesia meraih kemajuan sebagai negara ke-7 ekonomi
dunia. Peningkatan pendidikan dan kesehatan publik menjadi kunci semua
itu.
Pernyataan tersebut disampaikan Menko Perekonomian, Hatta
Rajasa, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/6). Menurut Hatta,
optimisme itu sama sekali bukan impian kosong, tetapi didukung banyak
fakta otentik. Misalnya, Hatta mencontohkan pertumbuhan kelas menengah
Indonesia yang begitu pesat, hingga saat ini mencatat jumlah di atas 55
juta orang.
“Dengan jumlah itu saja, Indonesia memiliki pasar
paling besar dan potensial dari seluruh negara ASEAN,” kata Hatta.
Pertumbuhan kelas menengah itu bahkan tercatat lebih besar dibanding
kekuatan ekonomi baru dunia, yakni Cina dan India.
Percepatan
pertumbuhan ekonomi itu, menurut Hatta, akan kian berganda manakala mutu
tenaga kerja Indonesia bisa ditingkatkan. Mutu tenaga yang semakin baik
otomatis akan memberikan dampak langsung kepada penguasaan teknologi
dan peningkatan kreasi bangsa.
“Karena itu, setelah –katakanlah,
reformasi gelombang pertama membuktikan kita mampu menjadi Negara
dengan kekuatan ekonomi ke-15 di dunia, reformasi gelombang kedua harus
ditekankan pada politik kesejahteraan, dengan fokus meningkatkan mutu
pendidikan dan kesehatan rakyat,” kata Hatta.
Menko
Perekonomian yakin, dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih
baik, masyarakat pun akan semakin mampu memberikan partisipasi terbaik
sesuai kreativitas masing-masing untuk bersama-sama meningkatkan
perekonomian nasional.
Optimisme Hatta itu dipertegas Guru Besar
Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika. Senada dengan
Menko Perekonomian, Erani menyatakan peluang Indonesia untuk mencapai
posisi tersebut sangat besar. Pasalnya, dengan jumlah penduduk nomor
empat di dunia, Indonesia bisa mengakumulasi pendapatan yang besar.
Apalagi dengan pendekatan produk domestic bruto (PDB), yang
memungkinkan investasi asing dihitung sebagai pendapatan Indonesia,
sementara hingga saat ini Indonesia terus dilirik investor luar negeri
sebagai tempat penanaman modal yang potensial.
“Perlu diingat,
posisi kita sebagai kekuatan ekonomi ke-15 itu dicapai dengan 65 persen
tenaga kerja yang hanya tamatan SMP ke bawah. Bayangkan bila mutu
pendidikan tenaga kerja kita lebih baik lagi,” kata Erani.
Sementara,
menurut direktur eksekutif Indef itu, tenaga kerja di negara-negara
maju didominasi oleh lulusan SMA ke atas. “Inilah yang menyebabkan level
penguasaan teknologi dan inovasi Indonesia masih tertinggal, bahkan
dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia sekali pun.”
Penguatan
antarlembaga, terutama lembaga non ekonomi yang tidak berada dalam
koordinasi Menko Perekonomian, juga menjadi prasyarat lain. Bila
koordinasi antarlembaga membaik dan terjadi saling sinergi satu sama
lain, pencapaian sebagai kekuatan 7 besar ekonomi dunia pun kian
dimungkinkan.
Beberapa waktu lalu lembaga riset internasional,
McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa pada 2030 mendatang
Indonesia bisa menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di
dunia. McKinsey juga memperkirakan bahwa Indonesia bisa memiliki kelas
konsumen sebanyak 130 juta jiwa atau tiga kali lipat saat ini. Prediksi
itu antara lain dengan melihat investasi langsung dari luar negeri (FDI)
selama 2012 yang meningkat 26 persen, hingga mencapai rekor tertinggi
menjadi US$24,6 miliar.
Sebelumnya, lembaga sejenis, Euromonitor
juga memprediksi bahwa pada tahun 2020 sekitar 58 persen penduduk
Indonesia akan masuk kategori penduduk ekonomi menengah. Persentase ini
lebih tinggi dibandingkan ekonomi Cina dan India. (ROL)